Pages

Selasa, 14 Oktober 2014

Sifat Zuhud Rasulullah SAW



Meskipun ditawari dunia dan seisinya, Rasulullah SAW lebih memilih hidup sederhana, karena cinta dunia menghalangi hamba menuju Allah SWT.

Hakikat zuhud adalah berpaling dari sesuatu atau meninggalkannya. Biasanya istilah zuhud dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat duniawi, seperti harta dan jabatan. Sifat zuhud hanya berlaku bagi orang yang memiliki kesempatan ataupun kemudahan dalam hal keduniawian kemudian tidak terpenjara dalam memikirkannya. Jadi orang yang tidak punya apa-apa tidak bisa dikategorikan sebagai orang zuhud.

Oleh karena itu, beberapa ulama berpendapat bahwa Umar bin Abdul Aziz adalah orang dengan tingkat zuhud yang lebih tinggi daripada Uweis AL-Qorni. Malik bin Dinar berkata, “Banyak orang yang mengatakan kalau saya adalah orang zuhud. Namun menurut saya sendiri, Umar bin Abdul Azizlah yang pantas menyandang predikat zahid.” Maksudnya, Umar bin Abdul Aziz memang benar-benar zuhud lantaran berada dalam kehidupan yang serba ada sebagai khalifah namun tidak terikat dan terbuai oleh harta maupun tahta.

Sikap zuhud yang melekat pada diri Umar bin Abdul Aziz, Uweis Al-Qorni, dan Malik bin Dinar merupakan perilaku mulia yang terinspirasi dari keteladanan Rasulullah SAW, panutan seluruh umat Islam. Rasulullah SAW adalah manusia yang paling zuhud, sebagaimana perintah Allah SWT kepada beliau, “Dan janganlah engkau tujukan pandangan matamu kepada kenikmatan yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan dari mereka, (sebagai) bunga kehidupan dunia, agar Kami uji mereka dengan (kesenangan) itu. Karunia Tuhanmu lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Tôhâ [20]: 131).

Dalam hati beliau tidak ada sedikit pun rasa cinta terhadap dunia. Meskipun Allah SWT melalui malaikat Jibril senantiasa menawarkan hal-hal keduniawian, seperti gunung yang akan dijadikan emas, namun Rasulullah SAW lebih memilih kehidupan apa adanya, dan malah sering dalam kondisi kesulitan. Ibnu Katsir dalam tafsirnya meriwayatkan dari Khutsaimah bahwa pernah dikatakan kepada Rasulullah SAW, “Jika engkau mau, aku akan memberimu kekayaan dunia seluruhnya. Tidak ada seorang pun sebelum dan sesudah engkau yang diberi. Dan hal itu tidak akan mengurangi kedudukan engkau di hadapan Allah SWT sedikit pun.”

Rasulullah SAW menjawab, “Karuniakanlah semua itu nanti di akhirat.” Kemudian Allah SWT menurunkan ayat, “Mahasuci (Allah) yang jika Dia menghendaki, niscaya Dia jadikan bagimu yang lebih baik daripada itu, (yaitu) surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan Dia jadikan (pula) istana-istana untukmu.” (QS. Al-Furqôn [25]: 10). Rasulullah SAW juga pernah disuruh memilih antara menjadi raja atau rasul. Beliau pun lebih memilih menjadi rasul, sebagai hamba pilihan Allah SWT.

Abu Dzar RA meriwayatkan, “Saya pernah berjalan bersama Rasulullah SAW di Madinah, lalu kami sampai di hadapan gunung Uhud. Beliau bersabda, ‘Wahai Abu Dzar, aku tak suka bila emas sebesar gunung Uhud ini menjadi milikku dan bermalam di rumahku hingga tiga malam. Kecuali satu dinar yang akan kugunakan untuk membayar hutang. Atau aku berikan semua emas itu kepada orang-orang sembari berkata begini, begini, dan begini’,(maksudnya berinfak dan sedekah), sembari menggenggamkan kedua tangannya ke kanan, kiri dan belakangnya.”

Kemudian Rasulullah meneruskan perjalanan dan bersabda, “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya orang-orang yang berbanyak-banyak (mengumpulkan harta) akan menjadi sedikit (melarat) pada hari kiamat nanti, kecuali orang yang berkata seperti ini, seperti ini, dan seperti ini begini,’ (maksudnya berinfak dan sedekah), sembari Rasulullah SAW menggenggam tangannya ke kanan, kiri dan belakangnya. Lalu bersabda, “Tetapi sedikit sekali orang yang suka melakukan hal demikian tadi.” (HR. Bukhari).

Di lain waktu, Umar bin Khattab RA pernah bertamu ke rumah Rasulullah SAW. Di saat itu kebetulan beliau sedang berbaring di atas lantai yang masih berupa pasir tanah. Setelah Rasulullah SAW bangun, Umar tiba-tiba menangis. Rasulullah SAW pun bertanya kepada Umar, “Mengapa engkau menangis, wahai Umar?”

“Bagaimana saya tidak menangis, ya Rasulullah. Saya sedih melihat bekas tanah di badan engkau yang mulia, dan saya prihatin melihat keadaan kamar ini. Semoga Allah SWT mengaruniakan kepada engkau harta yang lebih banyak. Orang-orang Persia dan Romawi tidak beragama dan tidak menyembah Allah, tetapi raja mereka hidup mewah. Mereka hidup dikelilingi taman yang di tengahnya mengalir sungai, sedangkan engkau adalah utusan Allah, tetapi engkau hidup dalam keadaan sangat miskin,” ujar Umar bin Khattab.

Mendengar jawaban Umar, Rasulullah SAW berkata, “Wahai Umar, sepertinya engkau masih ragu mengenai hal ini. Dengarlah, kenikmatan di alam akhirat lebih baik daripada kesenangan hidup dan kemewahan di dunia ini. Jika orang-orang itu hidup mewah di dunia ini, kita pun akan memperoleh segala kenikmatan tersebut di akhirat nanti. Di sana kita akan mendapatkan segala-galanya.”

Diriwayatkan oleh Aisyah RA, bahwasanya Rasulullah SAW tidak makan dengan kenyang selama tiga hari berturut-turut dari sepotong roti sampai beliau meninggal. Dalam riwayat lain, bahwasanya keluarga Rasulullah SAW tidak merasakan kenyang tiga hari berturut-turut dari sepotong rotipun sampai meninggal dunia. Aisyah RA juga berkata,“Rasulullah SAW tidak mewariskan satu dinar, satu dirham, seekor kambing, ataupun seekor unta.”

Riwayat-riwayat di atas menggambarkan kehidupan Rasulullah SAW yang sangat sederhana dalam hal keduniaan. Bahkan jika diukur dengan standar kemiskinan sekarang, mungkin beliau termasuk dari golongan orang-orang di bawah garis kemiskinan. Meskipun seperti itu, keadaan serba cukup atau sulit tidak menyurutkan sikap istikamah beliau dalam beribadah kepada Allah SWT dan berdakwah menyebarkan Islam.

Kondisi sederhana dan serba kecukupan yang dijalani Rasulullah SAW bukanlah disebabkan malas, bukan pula dikarenakan sikap anti-pati terhadap dunia atau faktor ekonomi masyarakat yang buruk waktu itu. Hal tersebut merupakan sikap seorang manusia mulia yang menjadikan dunia hanya sebagai penopang untuk menuju Allah SWT, bukan sebagai tujuan utama dalam menjalani hidup. Manusia yang sudah sampai pada tahap ini tidak akan terperdaya oleh gemerlap dan kemewahan kehidupan dunia, sehingga dunia hanya akan dimanfaatkan secukupnya saja.

Dalam keadaan serba ada, manusia yang sudah mencapai derajat zuhud memandang harta kekayaan sebagai sarana dalam meningkatkan ketakwaan dan ketaatan kepada Allah SWT. Rasulullah SAW memaknai takwa dalam keadaan melimpah harta dengan mendermakan sebagian besar hartanya kepada masyarakat, seperti pada riwayat pertama di atas. Namun, tentu saja dengan mengambil sebagian yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang dapat menopang tubuh dan keluarga dalam menjalani kehidupan dan ibadah.

Riwayat yang kedua dan ketiga membrikan gambaran bagaimana Rasulullah SAW dalam keadaan sangat sederhana. Dalam kondisi seperti ini beliau menjalani hidup dengan tulus ikhlas tanpa banyak mengadu dan mengeluh. Kondisi rumah yang sangat sederhana dan makanan yang ala kadarnya tidak menjadikan beliau berkeluh kesah dan menjauh dari ketaatan kepada Allah SWT. Tidak juga menjerumuskan ke jurang kekufuran.

Manusia zahid memandang dunia sebagai ladang ibadah untuk bekal di kehidupan akhirat. Oleh karena itu, dalam keadaan kaya maupun miskin, hati seorang zahid tidak menyimpan sedikitpun cinta terhadap dunia. Dalam pandangannya dunia adalah seperti yang difirmankan Allah SWT:

“Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sendagurauan, perhiasan  dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu.” (QS. Al-Hadîd [57] :20).

“Sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau. Jika kamu beriman serta bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu, dan Dia tidak akan meminta hartamu.” (QS. Muhammad [47]: 36).

Alhasil, Manusia yang hidup di dunia tentu tidak akan terlepas dari hal-hal keduniawian. Namun, zuhud bukan berarti menjauhi dunia secara total. Zuhud adalah kondisi hati dan jiwa yang tidak terikat dengan gemerlap dan kemewahan dunia. Tidak memandang dunia sebagai tujuan ataupun segala tumpuan hidup. Dunia hayalah kendaraan dalam menggapai keridhoan Allah SWT, sehingga dapat tercipta keseimbangan antara dunia dan akhirat, sebagaimana firman Allah SWT:

“Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di  bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash [28]: 77).

Wallahu a’lam bishawab

Menikahi Gadis yang Tidak Perawan



Assalamualaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh
Ustadz pengasuh yang dirahmati Allah, saya ingin bertanya tentang hukum menikahi gadis yang sudah tidak perawan lagi, akan tetapi statusnya masih gadis (bukan janda)?
Wassalam
Terima Kasih
Wahdi - 0856093005XX



Wa'alaikumussalam wa rahmatullahi wa barakatuh.

Saudara Wahdi ! Semoga Allah SWT memberikan yang terbaik dalam kehidupan kita semua. Amin.
Pertanyaan saudara, belum menggambarkan secara rinci tentang persoalan yang ditanyakan.
Hilangnya keperawanan gadis itu, tidak dijelaskan penyebabnya. Apakah karena perzinaan atau karena penyebab lain?
Karena itu, jawaban persoalan saudara secara khusus bisa jadi terdapat dalam penjelasan berikut.
Pertama, tentang nilai keperawanan.
Sebagian masyarakat seperti di belahan dunia barat, utuhnya keperawanan sampai umur tertentu dianggap sebagai tanda tidak pandainya bergaul di tengah masyarakat. Bagi mereka, keperawanan di saat pernikahan bukanlah suatu hal yang penting.
Di kalangan masyarakat lain seperti di timur begitu juga umat Islam, keperawanan merupakan tanda kehormatan dan terjaganya seorang wanita dari kekotoran perbuatan maksiat yaitu perzinaan. Karena itu mereka mengatakan itu adalah tanda kesucian walaupun di antara mereka ada pula yang berlebih-lebihan sehingga sebagian keluar ada yang melakukan pembunuhan terhadap wanita karena kehilangan keperawanan tanpa alasan yang bisa dibenarkan.

Kedua tentang tuntunan dalam mencari pasangan dalam syari'at Islam. Hadits-hadits Rasulullah SAW telah memberikan petunjuk baik bagi laki-laki maupun perempuan dalam hal ini. Untuk laki-laki, misalnya sabda Rasulullah SAW:
"Wanita biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya, karena parasnya dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih wanita yang bagus agamanya (keislamannya). Kalau tidak demikian, niscaya kamu akan merugi.” (HR. Bukhari-Muslim)

Dalam hadits ini, Rasulullah SAW menunjukkan keberuntungan seseorang yang mendapatkan pasangan yang beragama. Ini dipertegas lagi dalam hadits lain yang menunjukkan wanita yang shalihah itu di antara sifatnya adalah menjaga kehormatannya.
 “Apabila seorang wanita mengerjakan shalat lima waktunya, mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia inginkan.” (HR. Ibnu Hibban)

bahkan ada peringatan dari Rasulullah saw agar jangan sampai tertipu oleh penampilan lahir yang membungkus keburukan batin sebagaimana dalam riwayat berikut ini:

إ
Artinya:
"Berhati-hatilah kalian terhadap sayur segar di pelimbahan ! Rasulullah ditanya, apakah sayur segar di pelimbahan itu? Beliau bersabda; Perempuan cantik yang tumbuh di lingkungan yang buruk" (HR. al-Daruquthniy, dha'if tapi tidak jatuh kepada peringkat palsu)

Peringatan senada dengan ini telah disampaikan oleh Allah swt dalam firmanNYA:

"Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran". (QS. al-Baqarah 2:221)

Adapun untuk mencari pasangan bagi wanita, Rasulullah SAW juga memberi petunjuk kepada wali wanita dengan sabda beliau:

"Pilihlah tempat engkau menanamkan air mani (benih)mu, dan nikahilah wanita-wanita yang sekufu (sederajat), dan nikahkanlah mereka (dengan wanita-wanita yang berada di bawah perwalianmu). ( HR. Ibnu Majah dan al-Hakim)

malah ada ancaman dari Rasulullah bagi siapa yang mengabaikan keshalihan dalam menikahkan wanita yang berada dalam kewalian seseorang sebagaimana dalam hadits:
"Apabila datang kepada kamu orang yang kamu rela melihat agama dan akhlaknya, maka kawinkanlah ia, kalau tidak dilakukan, maka akan timbul fitnah di bumi dan kerusakan yang besar”. (HR. al-Turmudzî dari Abi Hatim al-Muzaniy)
Karena itulah, seharusnya setiap muslim berharap dan berusaha mendapatkan pasangan yang terbaik dengan memprioritaskan keshalehan dalam beragama.

Hadits-hadits itu juga merupakan penjelasan dari firman Allah SWT:
"Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga)". (QS. al-Nur 24:26)

Keshalehan pada calon pasangan bukan berarti mengabaikan yang lainnya. Dalam beberapa hadits, Rasulullah SAW mendorong sahabat agar memilih wanita yang masih gadis. Beliau bahkan memberikan alasan sebagai berikut:
 “Menikahlah dengan gadis, sebab mulut mereka lebih jernih, lebih subur rahimnya, dan lebih rela pada pemberian yang sedikit.” (HR. Ibnu Majah)

Dari beberapa penjelasan di atas, bila wanita yang hendak dinikahi itu kehilangan keperawanan bukan karena perzinaan atau perbuatan yang tidak menjaga kehormatan atau farajnya, tentu tidak ada persoalan dalam menikahinya karena selama wanita itu menjalankan syari'at Islam dan menjaga farajnya, wanita itu masih termasuk wanita shalih yang dianjurkan untuk dinikahi oleh seorang muslim.
Namun bila wanita itu kehilangan keperawanannya karena berzina atau perbuatan yang tidak menjaga kehormatan atau farajnya maka hukumnya terkait dengan menikahi wanita pezina.

Menikahi wanita pezina yang masih bergelimang dengan perzinaan atau belum bertaubat kepada Allah ta'ala atas perbuatan dosa besarnya itu, hukumnya adalah haram berdasarkan firman Allah SWT:
"Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin". (HR. al-Nur 24:3)

Namun bila wanita itu telah bertaubat dan terbukti taubatnya yang terlihat dari sikap dan perilakunya, hukum menikahinya adalah boleh walaupun bagi seorang mukmin tentu memilih yang afdhal adalah sesuatu yang terbaik.
Kebolehan itu difahami oleh ulama dari firman Allah SAW:
"kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (HR. al-Furqan 25:70)

Dalam ayat di atas, Allah SWT telah menjanjikan ganti kebaikan atas kejahatan yang mereka perbuat(termasuk pezina) bila mereka betul-betul bertaubat dan beramal shaleh. Tentu tiada kebaikan yang bisa menggantikan perzinaan selain pernikahan yang sah. Apalagi seseorang yang telah bertaubat dari dosa dalam pandangan syari'at Islam bagaikan orang yang tak berdosa  sama sekali sebagaimana sabda Rasul SAW:
 “Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak berdosa sama sekali". (HR. Ibnu Majah)

Hanya saja, walaupun boleh dinikahi namun yang pantas untuk menikahinya adalah yang berzina dengannya selama wanita itu tidak dalam keadaan hamil. Karena menikahi wanita hamil karena perzinaan walaupun oleh laki-laki yang berzina dengannya adalah haram menurut jumhur  ulama sampai wanita itu melahirkan.
Adapun bagi laki-laki lain yang menjaga dirinya selama ini dari perzinaan, tidak haram untuk menikahi wanita pezina yang telah bertaubat tersebut tapi bila kita memperhatikan hadits-hadits yang memberikan petunjuk untuk memilih pasangan yang baik, tentu memilih wanita yang bersih dari perbuatan zina adalah afdhal. Wallahu a'lam.

Jumat, 10 Oktober 2014

Anak Nakal Adalah Anak Pintar



Pertanyaan :
Assalamu’alaikum wr. wb.
Ibu Maria, saya memiliki tiga orang anak. Semuanya berperilaku nakal. Mereka tidak mau mendengarkan perkataan orangtuanya. Bagaimana cara mengatasinya?
Terima kasih.
Hamba Allah, Bekasi.


Jawaban :
Wa’alaikum salam wr. wb.

Anak-anak merupakan sosok manusia yang sedang berproses dalam hidupnya. Mereka cenderung meniru terhadap sesuatu hal, baik dari hal yang baik maupun yang buruk. Mereka meniru sesuai apa yang mereka lihat, mereka dengar, dan mereka rasakan. Mereka meniru kebiasaan yang dilakukan oleh anggota keluarganya maupun lingkungannya.

Sikap meniru itu adakalanya terhadap hal yang kurang baik. Terkait itu, orangtua perlu memberikan bimbingan dengan benar dan sabar dalam menghadapinya.

Anda sebaiknya tidak menyebut ketiga anak Anda dengan sebutan 'nakal'. Alangkah baiknya, jika Anda memanggil dengan sebutan 'anak pintar'. Karena hal itu akan berdampak terhadap perilaku anak. Anak yang sering disebut 'nakal', akan memiliki keyakinan bahwa mereka anak yang nakal. Akibatnya, perilaku anak Anda akan semakin nakal, dan malah lebih sulit merubahnya.

Apa yang kita labelkan terhadap anak, misalnya, merupakan sebuah doa. Dan hal itu bisa menjadi kenyataan. Karena itu, hendaknya kita tidak memberikan label negatif terhadap anak kita.

Kita perlu meneladani perilaku Rasulullah terhadap anak-anak. Rasulullah SAW itu merupakan orang yang sangat sayang terhadap puteri-puteri maupun cucunya. Beliau tidak pernah memberikan label negatif terhadap mereka.

Dikisahkan, bahwa Rasulullah memiliki cucu pertama dari puterinya Zainab, yang bernama Umamah. Rasulullah senang bermain dengan Umamah. Bahkan, Umamah pernah digendong di pundak Rasulullah, ketika beliau sedang shalat. Setelah Zainab meninggal dunia, Rasulullah SAW mengasuh Umamah dengan segala perhatiannya.

Hal itu diceritakan oleh Abu Qatadah Al Anshari. Dia mengatakan, “Ketika kami berada di depan pintu rumah Rasulullah. Beliau keluar dengan Umamah binti Abul Ash, puteri Zainab yang masih kecil. Kemudian, Rasulullah shalat, sementara Umamah berada di pundaknya. Ketika beliau rukuk, Rasulullah meletakkannya. Kemudian ketika bangun dari ruku, beliau mengembalikannya ke atas pundaknya. Demikianlah hingga beliau menyelesaikan shalat."

Dalam kisah yang lain, diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah Ra, ia berkata “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, ”Barang siapa mempunyai tiga anak perempuan, kemudian ia mengajarinya tentang sopan santun, menyayanginya, menjaganya serta mengawinkannya, maka ia bersamaku di dalam surga”. Seseorang bertanya, “bagaimana kalau hanya dua orang anak perempuan?“ Rasulullah menjawab, “Walaupun hanya dua”. Kemudian Jabir bin Abdullah berkata; “Jika ada orang yang mengatakan hanya satu. Pasti Rasulullah akan mengatakan, “Walaupun hanya satu”.  

Demikian, semoga bermanfaat. Allahu A’lam bi al shawab.

Harun Nasution (bag. 1) Sosok Cerdas, Pelopor Program Pasca Sarjana Kampus Islam Indonesia



Lahir dan dibesarkan dikalangan Islam yang kuat di Sumatera, mendalami Ilmu agama di Kairo Mesir, dan akhirnya memoles pendidikan keislaman barat di Kanada, pelopor Program Pasca Sarjana IAIN Jakarta ini cenderung pada paham Mu’tazilah. Paham keislaman yang kontroversial di Indonesia

Lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara, pada 23 September 1919, Harun Nasution       merupakan putra dari seorang Qadhi (penghulu) di Mandailing yang bernama Abdul Jabar Ahmad. Selain berperan sebagai ulama yang menguasai kitab “kuning” berbahasa Malayu, ayah Harun juga berprofesi sebagai seorang peniaga yang berdagang di sekitar daerah Simalungun, Pematang Siantar,  masa penjajahan Belanda. Sedangkan ibunya, Maimunah, adalah seorang Boru Mandailing Tapanuli yang juga merupakan keturunan seorang ulama. Saat mudanya, Maimunah pernah bermukim di Mekkah hingga dapat mengikuti beberapa kegiatan keagamaan di Masjidil Haram.
Disamping lahir dan dibesarkan dari keluarga yang taat beragama, Harun juga berasal dari keluarga yang terhormat dan memiliki kemahiran dalam mengurus ekonomi keluarga. Dengan kondisi keluarga yang lumayan baik, dari segi pendidikan maupun ekonomi, membuatnya lancar dalam mendalami ilmu pengetahuan tanpa ada masalah yang berarti.
Saat umurnya menginjak di angka tujuh tahun, Harun memulai pendidikannya di Hollandsch Inlandche School (HIS), sekolah Belanda untuk pribumi, tahun 1934. Disana ia belajar bahasa Belanda dan Ilmu pengetahuan lainnya selama lebih kurang tujuh tahun. Sedangkan ilmu agamanya diperdapat dalam lingkungan keluarga sepulang sekolah.
Selepas menamatkan pendidikannya di HIS, Harun berkeinginan untuk melanjutkan ke sekolah MULO, akan tetapi tidak diizinkan kedua orangtuanya. Bapaknya menganggap pengetahuan umumnya sudah cukup diperdapat di HIS, dan ia disuruh untuk memperdalam lagi ilmu agamanya. Akhirnya Harun meneruskan pendidikannya di Sekolah Keagamaan Modern, Moderne Islamietische Kweek School (MIK) sederajat MULO di Bukit Tinggi, Sumatera Barat, dan tamat pada tahun 1937.
Setelah beberapa lama di Bukit Tinggi, Harun meminta kepada kedua orangtuanya untuk diizinkan menuntut ilmu di Kairo Mesir. Di Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, ia mulai mengenal dan mendalami ilmu filsafat Islam.
Merasa tidak cocok di Universitas Al-Azhar, Kairo, Harun pindah ke Universitas Amerika di Kairo. Di kampus barunya ini, Harun malah mendalami ilmu pendidikan dan ilmu sosial, hingga ia meraih gelar akademik Bachelor of Art (BA) pada tahun 1952. Dengan gelarnya tersebut, Harun bekerja diperusahaan swasta dan kemudian pindah ke konsulat Indonesia di Kairo, Mesir. Dimasa inilah, Harun berhasil mempersunting seorang gadis Mesir, Sayeedah.
Bekerja sebagai salah satu staf  di Konsulat Indonesia membuatnya betah berkarir didunia diplomatik. Dari pengalaman inilah, Harun ditarik dari Mesir untuk dipekerjakan sebagai pegawai di Departemen Luar Negeri Bagian Timur Tengah di tanah air. Dalam menjalani karirnya tersebut, ia sempat ditugaskan ke Brussel selama tiga tahun sejak tahun 1955. Disana ia banyak mewakili berbagai pertemuan internasional, terutama karena kemampuannya berbahasa Belanda, Perancis serta Inggris. Ia menjabat sebagai sekretaris Kedutaan Republik Indonesia untuk Jerman Barat kala itu (sekarang Belgia).
Setelah menjalani tugas sebagai diplomat, Harun Nasution berkeinginan kembali ke Mesir untuk melanjutkan studinya di Dirasah al-Islamiyah, namun terkendala oleh keterbatasan biaya, maka studinya tidak dapat dilanjutkan.
Pada tahun 1962, Harun memperoleh bea siswa dari  Institut of Islamic Studies McGill di Montreal Kanada. Tidak menyia-nyiakan kesempatan, ia langsung berangkat ke Kanada untuk beberapa tahun, hingga memperoleh gelar Magister of Art (MA) dalam Studi Islam dengan tesis berjudul, The Islamic State in Indonesia: The Rise of The Ideology, The Movement for Its Creation and The Theory of The Masjumi pada tahun 1965. Dan pada tahun 1968, ia meraih gelar Doktor (Ph.D) dalam bidang dan almamater yang sama dengan disertasi  berjudul The Place of Reason in Abduh’s Theology: Its Impact on His Theological System and Views.

Kembali ke Tanah Air
Setelah meraih Doktor, Harun Nasution kembali ke tanah air. Dan tahun 1969 ia mencurahkan perhatiannya dibidang akademik pada pengembangan pemikiran Islam lewat Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta. Ia sempat menjadi Rektor IAIN Jakarta selama dua periode (1974-1982). Di samping itu ia juga menjadi dosen luar biasa di IKIP Jakarta, Universitas Nasional (UNAS) Jakarta sejak 1970 dan Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI) Jakarta sejak 1975.
Dengan keaktifannya mengabdikan diri di IAIN Syarif  Hidayatullah,  Kemudian Ia memelopori berdirinya Pascasarjana untuk studi Islam di Perguruan Tinggi Islam tersebut, dan ia langsung mengelola dan menjabat sebagai Direktur program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sampai ajalnya menjeput.
Di samping di kenal sebagai ahli filsafat Islam, Harun juga di kenal  sebagai penulis. Semasa hidupnya Ia telah banyak menghasilkan tulisan, baik yang berupa buku, artikel, maupun jurnal ilmiah di dalam dan luar negeri. Dan semua tulisannya relatif menjadi buku teks (wajib) mahasiswa, terutama di lingkungan IAIN dan STAIN yang ada di Indonesia. Buku-buku yang telah di tulis Harun Nasutioan antara lain sebagai berikut; Islam ditinjau dari berbagai aspeknya (1974), Akal dan wahyu dalam Islam (1986), Falsafah dan Mistisisme dalam Islam (1978), Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa, dan Perbandingan (1977), Falsafah Agama (1978).Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Geraksn (1978), Islam Rasional (1995).

Harun Nasution dikenal juga sebagai sosok intelektual muslim yang banyak memperhatikan pembaruan Islam dalam arti yang luas, bukan terbatas hanya pada bidang pemikiran saja seperti teologi, mistisisme (tasawuf) dan hukum (fiqh), namun juga mencakup seluruh aspek kehidupan kaum muslimin secara umum.
Dalam pemikirannya, ia berpendapat bahwa keterbelakangan umat Islam (tak terkecuali di Indonesia) disebabkan oleh lambatnya mengambil bagian dalam proses modernisasi dan dominannya pandangan hidup tradisional, khususnya teologi Asy’ariyah. Menurutnya, pola pandang tersebut harus direstorasi menjadi pandangan yang rasional yang sebelumnya teori ini telah disosialisasikan oleh kaum Mu’tazilah.
Reaktualisasi dan sosialisasi teologi Mu’tazilah bagi Harun Nasution merupakan langkah strategis yang harus dilakukan, sehingga umat Islam siap terlibat dalam pembangunan dan modernisasi secara kultural. Hal ini tentunya tanpa harus menghilangkan pada tradisi bangsa sendiri dan tetap berpijak pada norma yang ada.

Fitnah Terhadap Raja


Dikisahkan pada suatu hari Khalifah Harun Al-Rasyid marah besar pada sahabat karibnya, Abu Nawas. Ia ingin menghukum mati Abu Nawas setelah menerima laporan bahwa Abu Nawas mengeluarkan fatwa tidak mau rukuk dan sujud dalam shalat.

Lebih lagi, Harun Al-Rasyid pernah mendengar bahwa Abu Nawas menuduh  dirinya sebagai khalifah yang suka memfitnah. Menurut pembantu-pembantu kerajaan, Abu Nawas layak dipancung karena melanggar syariat Islam dan menyebar fitnah.

Khalifah mulai terpancing. Tapi untung ada seorang pembantunya yang memberi saran, hendaknya Khalifah melakukan pembuktian. Abu Nawas pun dipanggil menghadap Khalifah. Kini, ia menjadi pesakitan.

"Hai Abu Nawas, benar kamu berpendapat tidak rukuk dan sujud dalam salat?" tanya Khalifah ketus.

Abu Nawas menjawab dengan tenang, "Benar paduka"

Khalifah kembali bertanya dengan nada suara yang lebih tinggi, "Benar kamu berkata kepada masyarakat bahwa aku, adalah seorang khalifah yang suka fitnah?"

Abu Nawas menjawab, ”Benar paduka.”

Khalifah berteriak dengan suara menggelegar, "Kamu memang pantas dihukum mati, karena melanggar syariat Islam dan menebarkan tuduhan palsu terhadap khalifah!"

Abu Nawas tersenyum seraya berkata, "Paduka, memang aku tidak menolak bahwa aku telah mengeluarkan dua pendapat tadi, tapi sepertinya kabar yang sampai pada paduka belumlah lengkap. Kata-kataku dipelintir, dijagal, seolah-olah aku berkata salah."

Khalifah berkata dengan sedikit heran, "Apa maksudmu? Jangan membela diri, kau telah mengaku dan mengatakan kabar itu benar adanya."

Abu Nawas beranjak dari duduknya dan menjelaskan dengan tenang, "Paduka, aku memang berkata rukuk dan sujud tidak perlu dalam shalat, tapi dalam shalat apa? Waktu itu aku menjelaskan tata cara shalat jenazah yang memang tidak perlu rukuk dan sujud."

"Bagaimana soal aku yang engkau tuduhkan suka memfitnah?" tanya Khalifah.

Abu Nawas menjawab dengan senyum, "Kalau itu, aku sedang menjelaskan tafsir ayat 28 surat Al-Anfal, yang berbunyi ketahuilah bahwa kekayaan dan anak-anakmu hanyalah fitnah (ujian) bagimu. Sebagai seorang khalifah dan seorang ayah, anda sangat menyukai kekayaan dan anak-anak, berarti anda suka ’fitnah’ (ujian) itu."

Mendengar penjelasan Abu Nawas yang sekaligus kritikan, Khalifah Harun Al-Rasyid tertunduk malu, menyesal dan sadar. Rupanya, kedekatan Abu Nawas dengan Harun Al-Rasyid menyulut iri dan dengki di antara pembantu-pembantunya. Hubungan di antara mereka bukan antara tuan dan hamba. Pembantu-pembantu khalifah yang hasud ingin memisahkan hubungan akrab tersebut dengan memutarbalikkan berita.

Aktivis Anti-Islam Amerika Dilarang Masuk Inggris



Pemerintah Inggris melarang dua blogger anti-Islam AS terkemuka menginjakkan kakinya di Inggris. Seperti dikemukakan Kementrian Dalam Negeri pada Rabu (26/6) lalu keduanya telah merencanakan ke Inggris untuk berbicara di sebuah pertemuan kelompok ekstrim-kanan.

Pamela Geller dan Robert Spencer, pendiri Stop Islamization of America, berencana tampil pada aksi pawai yang digelar ekstrim-kanan English Defence League (EDL) di Woolwich, sebuah kota di tenggara London yang digemparkan oleh peristiwa kematian tentara Inggris pada Mei lalu.

Di blog mereka, Geller dan Spencer menampilkan salinan surat dari Kementrian Dalam Negeri Inggris yang melarangnya memasuki negara Eropa barat tersebut. Spencer mengatakan keputusan itu menunjukkan ketakutan berlebihan pemerintah Inggris.

Dalam sebuah pernyataan, Kementrian Dalam Negeri Inggris mengatakan, “akan melarang setiap individu yang kehadirannya di Inggris tidak baik bagi kepentingan publik,” ungkap jubir kementrian.

Matthew Collins, juru bicara kelompok anti-rasisme (Hope Not Hate) yang menentang Spencer dan Geller datang ke Inggris, menyambut baik keputusan larangan tersebut.

“Kami sangat apresiasi dan senang atas keputusan itu, kebebasan berbicara tidak memberikan hak anda untuk menghasut kebencian terhadap orang-orang muslim,” ungkap Collins

Spencer dan Geller adalah aktivis anti Islam yang paling keras menolak pembangunan masjid di dekat lokasi ground zero di New York, Amerika Serikat.

Sofwan

Aurat Wanita Terhadap Saudara Angkat



Pertanyaan:

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Ustadzah yang dirahmati Allah, saya mempunyai seorang adik laki-laki yang diadopsi kedua orang tua saya. Dari kecil kami sudah bergaul bersama layaknya saudara kandung. Namun, setelah dewasa, apakah masih boleh saya melalaikan aurat di depan dia? dimana tidak ada lagi perasaan "aneh" diantara kami. Mohon penjelasannya.
Wassalam
Terima Kasih
Diah-Bekasi



Jawaban:

Wa’alaikum Salam Wr. Wb.
    Islam pada dasarnya melarang bentuk adopsi (al-tabanni) yang dikenal sejak zaman Jahiliyah, yaitu mengangkat anak orang lain sebagai anak sendiri, sehingga ia dinisbahkan kepada ayah angkatnya, diakui sebagai anak kandung, dan mendapatkan hak serta warisan seperti layaknya anak sendiri. Sebaliknya, yang dibolehkan dalam Islam adalah mengangkat anak asuh (ihtidhan / foster children) dari kerabat atau kalangan kurang mampu untuk dididik dan diasuh secara baik, tanpa menasabkan anak kepada orang tua asuhnya, dan tidak dianggap sama statusnya dengan anak kandung dalam segi perwarisan, perwalian (dalam pernikahan) serta hubungan mahram.
    Allah SWT berfirman dalam QS. al-Ahzab: 4-5, ”…dan Dia (Allah) tidak menjadikan anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataan di mulutmu saja. Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu (hamba sahaya yang sudah dimerdekakan dan dijadikan anak angkat)”. Ayat ini menunjukkan bahwa masalah nasab adalah hak Allah, bukan ditentukan oleh manusia. Sebagai konsekuensinya, penasaban anak angkat seharusnya dikembalikan kepada ayah kandung mereka. Sedangkan penggunaan istilah anak dalam adopsi hanyalah ucapan di mulut belaka, tidak berkonotasi anak yang sebenarnya seperti hubungan hukum antara ayah dengan anak kandung (bunuwwah). Sebab tidak mungkin seorang anak memiliki dua orang ayah.
    Islam membolehkan orang tua asuh beserta keluarganya untuk bergaul dan mencurahkan kasih sayang kepada anak asuh seperti layaknya anak kandung. Meskipun demikian, sejatinya status anak asuh tetaplah sebagai orang lain (ajnabi) yang bukan mahram. Ketika anak asuh masih berusia dini dan belum mengerti tentang batasan aurat wanita, atau belum memiliki syahwat terhadap lawan jenisnya, memang diperkenankan terlihat sebagian aurat wanita yang biasa tersingkap saat melakukan aktivitas sehari-hari, berdasarkan QS. al-Nur: 31, “…atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan”. Tapi kala anak asuh mencapai usia tamyiz, mengerti aurat dan mulai berhasrat kepada lawan jenis, apalagi sudah baligh, maka saat itu berlaku aturan hijab yang menutupi aurat wanita terhadap laki-laki non-mahram. Hal ini bukan saja dikarenakan anak asuh tidak termasuk dalam list mahram seperti disebutkan dalam QS. al-Nur: 31, tapi juga dimaksudkan sebagai saddan li al-dzari’ah (tindakan preventif).
Dalam hadits dari ‘Aisyah RA dikisahkan bahwa Salim maula Abu Hudzaifah RA diadopsi dan tinggal bersama Abu Hudzaifah berserta keluarganya. Salim bahkan telah dianggap dan diperlakukan seperti anak kandung sendiri. Ketika turun ayat tentang larangan adopsi, Sahlah binti Suhail (istri Abu Hudzaifah) datang menemui Rasulullah SAW dan berkata: “Sesungguhnya Salim telah mencapai usia laki-laki dewasa dan telah paham sebagaimana laki-laki dewasa, padahal dia sudah biasa (keluar) masuk rumah kami (tanpa kami memakai hijab), dan sungguh aku menduga dalam diri Abu Hudzaifah ada sesuatu (ketidaksukaan) terhadap hal tersebut.” Lalu Rasulullah Saw. bersabda kepadanya: “Susukanlah dia agar engkau menjadi mahramnya dan agar hilang ketidaksukaan yang ada dalam diri AbuHudzaifah”. (HR. Muslim). Hadits ini menunjukkan ketidakbolehan memperlihatkan aurat di hadapan anak angkat yang telah dewasa. Sampai-sampai Rasul menawarkan solusi kepada Sahlah untuk memberikan air susunya kepada Salim, sehingga ia bisa menjadi mahram sebagai ibu susu.
    Oleh karena itu, DR. Yusuf al-Qardhawi dalam fatwanya menyarankan kepada orang yang ingin mengadopsi anak yang tidak diketahui nasabnya dan masih dalam usia menyusui, agar merekayasa hubungan kekerabatan melalui penyusuan (radha’ah), sehingga terjadi hubungan mahram karena menyusui. Hal ini akan memudahkan berkumpul dan bergaul antara suami-istri, anak kandung dan anak angkatnya.
Untuk menghindari hal-hal yang dapat menimbulkan fitnah, seharusnya Anda tidak memperlihatkan aurat di hadapan adik laki-laki adopsi. Perlu disadari pula bahwa wanita yang melalaikan auratnya di hadapan anak asuh yang diadopsi sejak kecil boleh jadi tidak berpikiran yang aneh-aneh. Namun belum tentu hal yang sama dirasakan oleh anak asuh yang telah beranjak dewasa. Pangkal masalahnya bukan pada kebiasaan, tapi kesesuaian dengan panduan syariah. Mungkin hal itu dianggap wajar karena masyarakat sudah terbiasa dengan kebiasaan yang keliru, sehingga ketika sampai ajaran syariat yang benar justru terkesan aneh. Namun jika dibiasakan menjalani sesuai ketentuan syariat, niscaya akan memperoleh ketenangan, ketentraman dan kebahagiaan. Wallahu A’lam bi al-Shawab.