Pages

Kamis, 09 Oktober 2014

Berhubungan Saat Haid



Pertanyaan:

Assalamualaikum Wr. Wb.
Ibu pengasuh yang dirahmati Allah, suatu waktu saya pernah diajak berhubungan dengan suami, sedangkan saya dalam keadaan haid. Awalnya saya menolak dan menasehatinya, namun suami marah-marah dan membentak (kelihatannya dia sedang mabuk). Karena takut, akhirnya saya pasrah dan mengikuti kehendak suami saya. Apakah dalam hal ini saya berdosa mengikuti hal tersebut? Dan bagaimanakah sikap saya jika hal ini terjadi lagi?
Mohon penjelasannya bu Ustadzah. Terima Kasih.
Wassalam
Hamba Allah-Bogor


Jawaban:

    Wa’alaikum Salam Wr. Wb.
Ajaran Islam memberi perhatian yang besar terhadap masalah kebersihan dan kesehatan. Dalam setiap ketentuan hukum Islam yang mengatur kehidupan manusia selalu terselip hikmah dan kebaikan. Permasalahan mendasarnya justru: Mau atau tidak mau mengikuti aturan terbaik yang telah didesain oleh Sang Pencipta.
Salah satu ketentuan syara’ yang mengatur keharmonisan suami-istri adalah larangan berhubungan (jima’) ketika istri sedang mengalami haid hingga tuntas darah haidnya dan telah mandi janabah. Allah Swt. berfirman dalam QS. al-Baqarah: 222, “Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang (darah) haid. Katakanlah, itu adalah sesuatu yang kotor (najis). Karena itu jauhilah (jima’) istri pada waktu haid; dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci (usai haid dan mandi wajib). Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang taubat dan menyukai orang yang menyucikan diri”.
Ayat ini diturunkan terkait dengan kebiasaan ekstrim komunitas Yahudi zaman dulu, ketika istri mereka mengalami haid, mereka menjauhinya alias tidak mau makan dan tinggal bersama istrinya dalam satu rumah. Lalu para sahabat menanyakan hal itu kepada Nabi Saw. hingga turunlah ayat di atas sebagai kunci jawabannya. Hadits dari Anas bin Malik r.a. menegaskan sabda Rasulullah Saw. tentang perlakuan selayaknya dari suami terhadap istrinya yang haid, “Lakukan segala sesuatu (yang kamu mau) kecuali nikah (maksudnya jima’).” (HR Muslim). Dengan demikian, Islam memberi aturan yang lebih fleksibel dalam muamalah suami-istri selama masa haid, yakni membolehkan bercumbu dengan istri selama tidak sampai berjima’.
    Melakukan hubungan intim ketika haid tidak saja diharamkan dalam pandangan agama, bahkan cukup berbahaya dari segi kesehatan. Dampak negatifnya bagi istri antara lain dapat mengakibatkan infeksi pada organ reproduksi, luka trauma di mulut rahim, serta munculnya endometriosis (darah kotor haid bisa masuk ke dalam perut melalui saluran telur) yang menimbulkan rasa nyeri dan berpeluang menyebabkan kemandulan. Sedangkan bagi suami, darah menstruasi merupakan media paling subur untuk berpindahnya virus dan bakteri dari istri yang mengidap penyakit tertentu.
    Boleh jadi, itulah diantara hikmah larangan berjima’ dengan wanita haid, hingga Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa mendatangi dukun kemudian membenarkan apa yang dikatakannya, atau mendatangi (jima’) wanita yang sedang haid, atau mendatangi wanita lewat duburnya, maka sungguh dia telah berlepas diri dari apa yang telah diturunkan kepada Muhammad Saw.” (HR. Abu Dawud).
Imam Syafi’i bahkan mengklasifikasikan perbuatan mencampuri wanita haid sebagai tindakan yang terjerumus kedalam dosa besar. Oleh karenanya, sebagian ulama mujtahid seperti Imam Ahmad bin Hanbal menentukan hukuman denda (kaffarat) bagi orang yang melanggar aturan tersebut, yaitu dengan bersedekah kepada fakir-miskin, sesuai hadits dari Ibnu ‘Abbas, “Rasulullah SAW. menyuruh orang yang mendatangi (jima’) istrinya ketika haid untuk bersedekah dengan satu dinar atau setengah dinar.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud). Ukuran satu dinar setara dengan 4,25 gram emas. Sedangkan Imam Syafi’i berpandangan bahwa denda semacam itu bukanlah merupakan kaffarat yang wajib dipenuhi, namun hanya disunnahkan untuk bersedekah. Sementara jumhur ulama mencukupkan dengan istighfar atau memohon ampun kepada Allah Swt diiringi tekad untuk tidak akan mengulanginya, tanpa ada kewajiban membayar kaffarat.
    Terkait dengan permintaan suami yang mengajak secara paksa untuk berhubungan disaat istri sedang haid, apalagi kondisi suami marah-marah dan setengah mabuk, kiranya hal itu tidak menimbulkan dosa bagi istri yang tengah dipaksa. Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ menyatakan bahwa orang yang melakukan hubungan badan ketika haid, baik karena tidak tahu istrinya sedang haid, atau tidak tahu hal itu dilarang, atau karena lupa, atau terpaksa, maka ia tidak berdosa dan tidak ada kewajiban membayar kaffarat. Berdasarkan hadis dari Ibnu ‘Abbas r.a., bahwa Nabi Saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah memaafkan kesalahan umatku karena tidak sengaja, lupa, atau dipaksa”. (HR. Ibnu Majah).
    Kepatuhan  pada suami memang diperintahkan dalam agama, namun apabila suami mengajak berbuat hal-hal yang melanggar syari’at maka gugur kewajiban isteri untuk patuh pada suami.
    Agar terhindar dari kesalahan serupa, sebaiknya sadarkan terlebih dulu kepada sang suami agar menjauhi makanan dan minuman yang diharamkan dalam Islam. Karena hal itu dapat berpengaruh pada timbulnya perbuatan dosa yang lebih besar. Kemudian coba ajak suami bersabar dan berpuasa sunnah. Komunikasikan masalah tersebut secara baik-baik dengan suami, dan ingatkan berbagai efek buruk yang mungkin timbul akibat dari perbuatannya.
Selebihnya sampaikan kepada suami untuk meneladani cara Rasul ketika mencumbui istrinya yang sedang haid. Dalam hadits dikisahkan, dari ‘Aisyah ra., ia berkata bahwa diantara istri Nabi ada yang sedang mengalami haid, lalu Rasulullah SAW. ingin bercumbu dengannya. Kemudian beliau memerintahkannya untuk memakai sarung agar menutupi tempat keluarnya darah haid, lantas beliau tetap mencumbunya (di atas sarung). Aisyah berkata, “Adakah di antara kalian yang bisa menahan hasratnya (untuk berjima’) sebagaimana Nabi SAW. menahannya?” (HR. Bukhari  dan Muslim). Wallahu A’lam bi al-Shawab.

0 komentar:

Posting Komentar