Pages

Jumat, 10 Oktober 2014

Harun Nasution (bag. 1) Sosok Cerdas, Pelopor Program Pasca Sarjana Kampus Islam Indonesia



Lahir dan dibesarkan dikalangan Islam yang kuat di Sumatera, mendalami Ilmu agama di Kairo Mesir, dan akhirnya memoles pendidikan keislaman barat di Kanada, pelopor Program Pasca Sarjana IAIN Jakarta ini cenderung pada paham Mu’tazilah. Paham keislaman yang kontroversial di Indonesia

Lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara, pada 23 September 1919, Harun Nasution       merupakan putra dari seorang Qadhi (penghulu) di Mandailing yang bernama Abdul Jabar Ahmad. Selain berperan sebagai ulama yang menguasai kitab “kuning” berbahasa Malayu, ayah Harun juga berprofesi sebagai seorang peniaga yang berdagang di sekitar daerah Simalungun, Pematang Siantar,  masa penjajahan Belanda. Sedangkan ibunya, Maimunah, adalah seorang Boru Mandailing Tapanuli yang juga merupakan keturunan seorang ulama. Saat mudanya, Maimunah pernah bermukim di Mekkah hingga dapat mengikuti beberapa kegiatan keagamaan di Masjidil Haram.
Disamping lahir dan dibesarkan dari keluarga yang taat beragama, Harun juga berasal dari keluarga yang terhormat dan memiliki kemahiran dalam mengurus ekonomi keluarga. Dengan kondisi keluarga yang lumayan baik, dari segi pendidikan maupun ekonomi, membuatnya lancar dalam mendalami ilmu pengetahuan tanpa ada masalah yang berarti.
Saat umurnya menginjak di angka tujuh tahun, Harun memulai pendidikannya di Hollandsch Inlandche School (HIS), sekolah Belanda untuk pribumi, tahun 1934. Disana ia belajar bahasa Belanda dan Ilmu pengetahuan lainnya selama lebih kurang tujuh tahun. Sedangkan ilmu agamanya diperdapat dalam lingkungan keluarga sepulang sekolah.
Selepas menamatkan pendidikannya di HIS, Harun berkeinginan untuk melanjutkan ke sekolah MULO, akan tetapi tidak diizinkan kedua orangtuanya. Bapaknya menganggap pengetahuan umumnya sudah cukup diperdapat di HIS, dan ia disuruh untuk memperdalam lagi ilmu agamanya. Akhirnya Harun meneruskan pendidikannya di Sekolah Keagamaan Modern, Moderne Islamietische Kweek School (MIK) sederajat MULO di Bukit Tinggi, Sumatera Barat, dan tamat pada tahun 1937.
Setelah beberapa lama di Bukit Tinggi, Harun meminta kepada kedua orangtuanya untuk diizinkan menuntut ilmu di Kairo Mesir. Di Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, ia mulai mengenal dan mendalami ilmu filsafat Islam.
Merasa tidak cocok di Universitas Al-Azhar, Kairo, Harun pindah ke Universitas Amerika di Kairo. Di kampus barunya ini, Harun malah mendalami ilmu pendidikan dan ilmu sosial, hingga ia meraih gelar akademik Bachelor of Art (BA) pada tahun 1952. Dengan gelarnya tersebut, Harun bekerja diperusahaan swasta dan kemudian pindah ke konsulat Indonesia di Kairo, Mesir. Dimasa inilah, Harun berhasil mempersunting seorang gadis Mesir, Sayeedah.
Bekerja sebagai salah satu staf  di Konsulat Indonesia membuatnya betah berkarir didunia diplomatik. Dari pengalaman inilah, Harun ditarik dari Mesir untuk dipekerjakan sebagai pegawai di Departemen Luar Negeri Bagian Timur Tengah di tanah air. Dalam menjalani karirnya tersebut, ia sempat ditugaskan ke Brussel selama tiga tahun sejak tahun 1955. Disana ia banyak mewakili berbagai pertemuan internasional, terutama karena kemampuannya berbahasa Belanda, Perancis serta Inggris. Ia menjabat sebagai sekretaris Kedutaan Republik Indonesia untuk Jerman Barat kala itu (sekarang Belgia).
Setelah menjalani tugas sebagai diplomat, Harun Nasution berkeinginan kembali ke Mesir untuk melanjutkan studinya di Dirasah al-Islamiyah, namun terkendala oleh keterbatasan biaya, maka studinya tidak dapat dilanjutkan.
Pada tahun 1962, Harun memperoleh bea siswa dari  Institut of Islamic Studies McGill di Montreal Kanada. Tidak menyia-nyiakan kesempatan, ia langsung berangkat ke Kanada untuk beberapa tahun, hingga memperoleh gelar Magister of Art (MA) dalam Studi Islam dengan tesis berjudul, The Islamic State in Indonesia: The Rise of The Ideology, The Movement for Its Creation and The Theory of The Masjumi pada tahun 1965. Dan pada tahun 1968, ia meraih gelar Doktor (Ph.D) dalam bidang dan almamater yang sama dengan disertasi  berjudul The Place of Reason in Abduh’s Theology: Its Impact on His Theological System and Views.

Kembali ke Tanah Air
Setelah meraih Doktor, Harun Nasution kembali ke tanah air. Dan tahun 1969 ia mencurahkan perhatiannya dibidang akademik pada pengembangan pemikiran Islam lewat Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta. Ia sempat menjadi Rektor IAIN Jakarta selama dua periode (1974-1982). Di samping itu ia juga menjadi dosen luar biasa di IKIP Jakarta, Universitas Nasional (UNAS) Jakarta sejak 1970 dan Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI) Jakarta sejak 1975.
Dengan keaktifannya mengabdikan diri di IAIN Syarif  Hidayatullah,  Kemudian Ia memelopori berdirinya Pascasarjana untuk studi Islam di Perguruan Tinggi Islam tersebut, dan ia langsung mengelola dan menjabat sebagai Direktur program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sampai ajalnya menjeput.
Di samping di kenal sebagai ahli filsafat Islam, Harun juga di kenal  sebagai penulis. Semasa hidupnya Ia telah banyak menghasilkan tulisan, baik yang berupa buku, artikel, maupun jurnal ilmiah di dalam dan luar negeri. Dan semua tulisannya relatif menjadi buku teks (wajib) mahasiswa, terutama di lingkungan IAIN dan STAIN yang ada di Indonesia. Buku-buku yang telah di tulis Harun Nasutioan antara lain sebagai berikut; Islam ditinjau dari berbagai aspeknya (1974), Akal dan wahyu dalam Islam (1986), Falsafah dan Mistisisme dalam Islam (1978), Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa, dan Perbandingan (1977), Falsafah Agama (1978).Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Geraksn (1978), Islam Rasional (1995).

Harun Nasution dikenal juga sebagai sosok intelektual muslim yang banyak memperhatikan pembaruan Islam dalam arti yang luas, bukan terbatas hanya pada bidang pemikiran saja seperti teologi, mistisisme (tasawuf) dan hukum (fiqh), namun juga mencakup seluruh aspek kehidupan kaum muslimin secara umum.
Dalam pemikirannya, ia berpendapat bahwa keterbelakangan umat Islam (tak terkecuali di Indonesia) disebabkan oleh lambatnya mengambil bagian dalam proses modernisasi dan dominannya pandangan hidup tradisional, khususnya teologi Asy’ariyah. Menurutnya, pola pandang tersebut harus direstorasi menjadi pandangan yang rasional yang sebelumnya teori ini telah disosialisasikan oleh kaum Mu’tazilah.
Reaktualisasi dan sosialisasi teologi Mu’tazilah bagi Harun Nasution merupakan langkah strategis yang harus dilakukan, sehingga umat Islam siap terlibat dalam pembangunan dan modernisasi secara kultural. Hal ini tentunya tanpa harus menghilangkan pada tradisi bangsa sendiri dan tetap berpijak pada norma yang ada.

0 komentar:

Posting Komentar