Pages

Kamis, 09 Oktober 2014

Kakek Renta Penjual Tali Sepatu



Kesusahan hidup tidak menjadikan Sang Kakek pengemis dan berbuat tidak jujur. Perjuangan demi sesuap nasi dan menghidupi keluarga patut jadi renungan.

Setiap hari menelusuri jalan yang sama menuju kampus, wajah wajah mahasiswa penuh ambisi lalu lalang seakan melangkah tanpa beban. Tanpa melengok ke lingkungan sekitar, ya mungkin ada satu atau dua orang yang menyadari.

Di sepanjang jalan yang dilalui, begitu banyak pemandangan yang menyayat hati, ya, menyayat hati bagi yang masih punya hati, ibu ibu duduk lesu menggendong anak yang haus akan susu, bapak bapak tua, lumpuh tanpa bisa mengeluh , kakek kakek yang bergolek di tengah teriknya matahari di jatinangor ini ,tapi itu seakan sudah menjadi pemandangan yang lumrah , "lumrah ? "

Hati mulai ragu akan eksistensi teman-teman saya yang bernama mahasiswa, yang dengan bangga mereka menyebut diri masing masing sebagai agen perubahan, namun menanggapi hal yang setiap hari mereka , anda, bahkan saya lihat, malah di sebut pemandangan yang lumrah, miris memang, tapi inilah dunia kejam.

Satu sosok yang amat saya soroti, setiap pagi, seakan tak pernah bosan, duduk seorang kakek tua, umurnya sudah lebih dari separuh baya, duduk termenung melamun memandangi daganganya yang tak laku laku, bapak itu setiap hari menjajakkan tali sepatu, dan sekali sekali menjual koran-koran di pagi hari.

Pemandangan yang menyayat hati, kehadiran kakek tua dengan dagangannya yang tidak laku-laku itu menimbulkan rasa iba. Siapa sih yang mau membeli tali sepatunya itu? teman teman mahasiswa hanya lewat tidak memperhatikan, bahkan hanya sekedar menawar barang dagangan si kakek tua, Masyaallah. Lalu lalang orang yang bergegas menuju kampus seolah tidak mempedulikan kehadirannya.

Kemarin, setelah pulang dari kampus, kakek tua itu sedang duduk termenung menatapi daganganya, berniat akan membeli tali sepatu itu walaupun saya tidak begitu membutuhkanya, saya pun menghampiri Si kakek dan menanyakan berapa harga tali sepatu yang beliau tawarkan,  "Lima ribu rupiah cep" mau beli yang warna apa? Oh syukurlah ternyata masih ada yang mau beli dagangan saya, "sahutnya penuh lirih, oh tuhan, harga sepasang tali sepatu beliau jual hanya dengan harga 5 ribu, mengambil untung hanya seribu rupiah dari orang yang menjual kepada beliau.

Sontak darah saya berdesir cepat, seakan butiran air mata tak tahan ingin menghujat keluar, betapa tidak, seribu rupiah, itu hanya bisa membeli sebuah toge dan tahu (gehu) pedas yang di jajalkan di pinggir pinggir jalan, dengan sekuat hati saya tahan perasaan iba,"Saya beli 2 pasang ya kek, "

Si Kakek terlihat sangat senang, karena akhirnya, setelah dari subuh menjajakkan daganganya, baru pada pukul 2 siang ada orang pertama membeli dagangannya. Saya pun mengeluarkan uang 20 ribu, beliau berkata," Tidak ada kembalianya  cep, " jawab kakek. "Oh tidak apa-apa kek, ambil saja kembalianya." Lalu saya bertanya kembali, mengapa di usia sudah lanjut yang sudah duduk diam di rumah menikmati sisa sisa umur beliau, malah masih bekerja keras membanting tulang, dari pagi hingga petang, menjajakkan koran dan tali sepatu di lingkungan kampus?, ”tanya saya kepada kakek itu. Dengan suara letih dia  menjawab, " Mau bagaimana lagi cep, inilah dunia, mungkin Allah belum meridhoi saya kalau saya masih malas malasan, saya punya anak di kampung 12 orang, 5 orang sudah berkeluarga dan pergi jauh meninggalkan kehidupan mereka yang serba berkekurangan, masih ada 7 orang lagi anak yang masih duduk di bangku SMA dan SMP. Jadi tidak mungkin saya duduk diam, sementara kaki saya masih kuat berjalan. "

Mendengar jawaban kakek tua itu, membuat saya menahan pekik tangis yang begitu mendesak keluar dari hati yang paling dalam. Tak kuasa melihat kepedihan dan ketegaran Si Kakek yang dimasa tuanya masih berjuang demi menghidupi keluarganya,  "Lalu, di sini kakek tinggal dimana? Dan pulang berapa minggu sekali ke kampung?" tanyaku penasaran. "Kakek tinggal di mushola di sebelah sekretariat mahasiswa, kakek numpang tinggal di sana, sekaligus membantu membersihkanya, karena tidak ada yang merawatnya dan  oleh kampus Kakek tidak diterima menjadi karyawannya, karena umur kakek sudah terlalu tua, padahal kakek berharap sekali dapet uang dari menjadi karyawan untuk membersihkan mushola ini." Jawabanya. “Dan kalau pulang tidak menentu waktunya, asalkan sudah bisa membeli beras 20 kg, baru bisa pulang, itu biasanya sekitar 2 minggu mengumpulkan uang untuk membeli beras buat dibawa pulang kampung,” katanya.

Allahu Akbar.....demi keluarga tercinta, dia rela tidur di mushola yang dingin ditemani kesepian yang teramat mendalam serta kerinduan akan menghabiskan hidup tenang. Untuk  mencari sesuap nasi, membela harga diri, untuk tidak menjadi pengemis yang tanpa ada usaha sedikitpun, sungguh beliau begitu mulia, dan semoga Allah selalu bersama orang yang berhati seperti seorang malaikat yang sengaja diutus Allah SWT ke bumi agar manusia bsia belajar, menghilangkan ketamakan dan bermalas malasan. Hamdan

0 komentar:

Posting Komentar