Pages

Kamis, 09 Oktober 2014

Nasihat Imam Al-Ghazali Kepada Muridnya


Pesan Sang Hujjatul Islam terkait akhlak dalam mengarungi hidup merupakan pencerahan. Para murid disadarkan betapa ilmu tanpa ‘amal adalah sia-sia, tetapi ‘amal tanpa ikhlas juga celaka. 
Suatu hari, Imam Al Ghazali  berkumpul dengan murid-muridnya. Kemudian beliau bertanya kepada para muridnya beberapa pertanyaan.
Pertama, "Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?” . Murid-muridnya ada yang menjawab orang tua, guru, teman, dan kerabatnya. Imam Ghazali  menjelaskan semua jawaban itu benar. Tetapi, yang paling dekat dengan kita adalah "Mati". Sebab itu sudah janji Allah SWT bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati.
Lalu, Imam Ghazali  meneruskan pertanyaan kedua, "Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?". Murid-muridnya pun menjawab dengan beragam jawaban, di antaranya Cina, bulan, matahari, dan bintang-bintang. Lalu Imam Ghazali  pun menjelaskan,  bahwa semua jawaban yang mereka berikan adalah benar. Tapi ada yang paling benar adalah masa lalu. Bagaimanapun kita, apapun kendaraan kita, tetap kita tidak bisa kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu,  kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama Islam.
Pertanyaan ketiga Imam Ghazali, "Apa yang paling besar di dunia ini?". Para murid pun serempak menjawab gunung, bumi, dan matahari. Semua jawaban itu benar kata Imam Ghazali . Tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah "Nafsu" sebagaimana tersurat di Al-Quran Al A'Raf ayat 179.  Maka kita harus hati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai nafsu membawa kita kepada kemurkaan Allah SWT.
Kemudian Sang Hujjatul Islam melanjutkan pertanyaan keempat, "Apa yang paling berat di dunia ini?" Ada yang menjawab baja, besi dan gajah. Semua jawaban kalian semua benar, kata Iimam Ghazali, tapi yang paling berat adalah "memegang amanah", seperti dijelaskan dalam Al-Quran Al Ahzab ayat 72.
Tidak heran, tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung, dan malaikat semua tidak mampu ketika Allah SWT meminta mereka untuk menjadi kalifah (pemimpin) di dunia ini. Tetapi manusia dengan sombongnya menyanggupi permintaan Allah SWT, sehingga banyak dari manusia masuk ke neraka, karena tidak kuat memegang amanah.
Pertanyaan kelima pun diajukan Imam Al-Ghazali, "Apa yang paling ringan di dunia ini?" Para murid pun menjawab, kapas, angin, debu  daun-daunan dan sebagainya. Semua jawaban itu benar kata Imam Ghazali. Tetapi ada yang paling ringan di dunia ini adalah meninggalkan Shalat.  Perlu diingat, bahwa gara-gara pekerjaan kita tinggalkan shalat, gara-gara meeting kita tinggalkan shalat.
Kemudian, pertanyaan keenam adalah, "Apakah yang paling tajam di dunia ini?"  Murid-muridnya menjawab dengan serentak, pedang, pisau, sembilu dan sebagainya. Benar kata Imam Ghazali , tapi yang paling tajam adalah "lidah manusia". Karena melalui lidah itulah, manusia dengan gampangnya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri.

Di lain waktu, Imam Al-Ghazali memberikan nasihat kepada mudir-muridnya. Wahai Anakku…Rasulullah SAW menasehatkan pada ummatnya, “Tanda kemurkaan Allah terhadap hamba-Nya adalah, bila ia tidak mendapat faedah dari hidupnya. Manusia yang umurnya dihabiskan dengan perbuatan-perbuatan yang tidak pantas, tentu akan menyesali perbuatannya. Siapa umurnya yang melebihi 40 tahun, sedang kebaikannya tidak mengungguli keburukannya, maka bersiaplah untuk pergi ke neraka”.

Nasehat ini sudah cukup bagi orang yang berilmu. Anakku…Nasehat itu adalah mudah, yang sulit adalah mengamalkannya. Sebab, ia akan terasa pahit bagi mereka yang mengikuti hawa nafsunya. Hal-hal yang terlarang itu disukai oleh manusia, khususnya bagi siapa yang menuntut ilmu dan menyibukkan diri untuk memiliki keutamaan budi dan kebaikan-kebaikan di dunia. Ia menduga, bahwa ilmu Mujarrad (Ilmu yang dipelajari agar disebut alim semata, tapi tidak mengamalkan isinya) akan dapat menyelamatkannya tanpa perlu beramal.

Rasulullah SAW bersabda, “Manusia yang paling keras siksanya di hari kiamat nanti adalah mereka yang berilmu, tapi Allah tidak memberinya manfaat dari ilmunya itu”

Ada sastrawan Persia berujar, seandainya kau timbang khamer 2000 kati niscaya engkau takkan mabuk bila tidak meminumnya. Seandainya engkau menimba ilmu selama seratus tahun dan menghimpun seribu kitab, tanpa amal, engkau takkan mendapatkan rahmat Allah.

Berfirman Allah SWT,  “Dan seorang manusia tidaklah memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (QS. 53:39).  Dan “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaknya mengerjakan amal shaleh”. (Q.S. 18:112), serta “Sebagai balasan atas apa yang selalu mereka kerjakan” (QS. 9:82)

Wahai Anakku…Malam-malam telah engkau lalui dengan belajar dan membaca buku-buku. Engkau tidak tidur selama itu. Saya tidak tahu, apa tujuanmu. Jika tujuanmu hanya untuk kesenangan duniawi, maka celakalah kau. Jika tujuanmu untuk menghidupkan syariat Nabi SAW, mendidik akhlak dan mematahkan nafsu yang condong kepada kejahatan, maka sungguh bahagialah kau.

Benar kata seorang sastrawan, berpayah-payah tanpa mengharap ridho-Mu adalah sia-sia. Tangis yang bukan karena Engkau adalah batil.

Anakku…Engkau memang perlu menuntut ilmu. Lalu, bagaimana caranya agar orang bisa menempuh jalan kebenaran? Ketahuilah, bahwa untuk menempuh jalan kebenaran itu memang patut memiliki seorang Guru. Guru inilah yang membimbing dan mendidik untuk mendapatkan akhlak baik. Peran guru tidak ubahnya bagai petani, yang mencabuti duri dan tanaman asing dari sela-sela tanaman. Tentu, agar mendapatkan hasil yang optimal. Para Guru berkewajiban mendidik dan membimbing ke jalan Allah. Allah mengirim seorang Rasul, fungsinya adalah untuk membimbing ke jalan-Nya. Dan ketika Rasulullah telah berpulang, ia pun meninggalkan khulafa’ yang menggantikannya.

Adapun persyaratan seorang Guru, ia hendaknya alim. Tetapi, tidak setiap alim pantas menjadi seorang Khalifah Rasul. Inilah tanda-tanda orang alim itu.

Ia adalah orang yang berpaling dari cinta duniawi dan cinta kedudukan; ia telah mengikuti seseorang yang bijaksana, dan keteladanannya berurutan hingga dengan Rasulullah SAW. Ia pandai melatih nafsunya dengan sedikit makan, bicara, dan tidur. Ia banyak Shalat, shadaqoh, dan puasa. Perilakunyapun baik. Ia sabar, shalat, syukur, tawakal, yakin, qana’ah, tenang jiwanya, rasa malu, kesetiaan, kewibaan, ketentraman, tidak terburu-buru dan sebagainya. Memang orang seperti itu sulit di dapat. Tapi bila kita menemukannya, maka, wajiblah kita menghormatinya, lahir dan batin.

Menghormati lahir adalah dengan cara tidak membatahnya, meski ia tahu akan kesalahannya. Jangan menggelar sajadah di depan guru, kecuali untuk shalat. Janganlah memperbanyak shalat sunnah di depan guru. Dan kerjakan sesuai dengan apa yang diperintahkan Guru untuk beramal. Tentu, sesuai dengan kemampuan yang ada.

Adapun penghormatan batin itu adalah tidak mengingkari segala yang didengarnya, baik ucapan maupun perbuatan, agar tidak bersifat munafiq. Jika tidak mampu, ia meninggalkan gurunya, hingga batinnya sesuai dengan lahirnya.

Hindarilah bergaul dengan teman yang buruk perilakunya. Ketahuilah, bahwa tasawuf itu mempunyai dua sifat, yakni istiqomah dan bersifat tenang terhadap manusia. Maka, siapa yang bersikap istiqomah dan berbaik budi terhadap orang-orang dan memperlakukan mereka dengan bijaksana, maka ia seorang sufi.

Istiqomah adalah usaha untuk menyelamatkankan diri. Budipekerti yang baik terhadap manusia adalah, tidak memaksa orang lain mengikuti pendapatmu, tapi usahakan mengikutinya selama tidak menyalahi syara’ Adapun ubudiah (penghambaan diri) itu ada tiga macam. Pertama, memelihara perintah syara’; Kedua, ridho dengan qadha’, taqdir, dan ketentuan Allah; dan ketiga, meninggaklan keridhoan dirimu untuk mencari keridhaan Allah.

Tentang Tawakal, ialah menguatkan keyakinan terhadap janji Allah. Yakni, keyakinan bahwa apa yang ditakdirkan bagimu akan sampai secara pasti. Apapun yang tidak ditulis tidak akan sampai kepadamu, meskipun semua orang membantumu.



0 komentar:

Posting Komentar