Pages

Kamis, 09 Oktober 2014

Masjid Lautze Masjidnya Para Muallaf Keturunan Tionghoa



Meski sebenarnya untuk umum, namun masjid Lautze lebih mengutamakan dan lebih memperhatikan para muallaf keturunan Tionghoa (Cina). Karena disinilah mereka menyatakan masuk Islam (muallaf) dan melaksanakan ibadahnya. 

Jika dilihat sekilas, tidak ada yang istimewa dari bangunan itu, hanya sebuah bangunan ruko. Namun, siapa sangka kalau ruko tersebut sebenarnya sebuah masjid? Siapa pula yang mengira kalau bangunan itu jadi pusat kegiatan para muallaf keturunan Cina di Jakarta Barat. 

Namanya Masjid Lautze. Untuk sebuah masjid, nama Lautze memang terdengar tak lazim. Kata itu rupanya merujuk pada alamat di mana masjid tersebut berada, yakni di Jalan Lautze No 87 Sawah Besar, Jakarta Pusat, yaitu sebuah kawasan pecinan di Jakarta Barat. Dalam Bahasa Cina, kata “Lautze” berarti guru atau orang bijak.

Masjid Lautze dikelola oleh Yayasan H. Karim Oei. Nama yayasan diambil dari nama seorang tokoh Muslim keturunan Cina, yang berjuang menyebarkan agama Islam di kalangan etnis Tionghoa di Indonesia.

Selain namanya yang tidak biasa, masih ada beberapa hal yang membedakan antara masjid Lautze dengan masjid-masjid lainnya. Pertama, kalau umumnya masjid dibuka setiap hari, sedangkan masjid Lautze hanya dibuka pada waktu tertentu saja. Dari hari Ahad sampai Jum’at, masjid hanya buka dari pukul 09.00 wib hingga jam 16.00 wib. Jadi, shalat yang dilaksanakan hanya Zhuhur dan Ashar.

Kedua, masjid ini tutup pada hari Sabtu. Ketiga, hari Ahad digunakan oleh pengurus untuk mengadakan pengajian rutin mingguan bagi jamaahnya, yang sebagian besar merupakan muallaf keturunan Cina.

“Masjid ini dibuka hanya pada jam-jam kerja, sesuai jam administrasi yayasan. Masjid Lautze mengadakan pengajian tiap hari Ahad. Hari Ahad dipilih karena kebanyakan jamaah memiliki waktu senggang dibandingkan hari-hari lainnya,” kata H.M. Ali Karim Oei, putra bungsu H. Karim Oei.

-    Empat Lantai -
Bangunan masjid Lautze terdiri dari empat lantai. Lantai satu dan dua difungsikan sebagai masjid, sedangkan lantai tiga dan empat digunakan sebagai kantor yayasan.

Seperti tampilan luarnya, interior masjid juga sederhana. Selain kaligrafi Islam yang dipadukan dengan huruf kanji, dinding masjid hanya dihiasi unsur-unsur ketimuran.

Di masjid Lautze, beberapa jamaah terlihat sedang melepaskan penat. Itu didukung dengan suasana masjid yang sejuk dan tenang.

Masjid Lautze terbuka untuk semua orang, tidak hanya diperuntukkan bagi para muallaf keturunan Cina saja. Namun masjid lebih perhatian dan intens terhadap para muallaf. Sejak diresmikan pada 4 Februari 1994, masjid ini telah menghasilkan lebih dari 50 orang muallaf setiap tahunnya. Pada tahun 2010 lalu, terdapat 79 orang muallaf yang mengikrarkan dua kalimat syahadat di masjid Lautze.

Pria berumur 57 tahun itu, menjelaskan bahwa lebih dari dua pertiga muallaf yang dibimbingnya, mendapat hidayah lewat jalan pernikahan. Latar belakang ekonomi mereka pun bermacam-macam. Ada yang mapan, ada pula yang masih tergantung pada keluarga mereka, yang belum mendapat hidayah.

“Tantangan bagi muallaf yang masih tergantung kepada keluarganya lebih berat dibandingkan muallaf yang mapan,” kata Ali. Tidak jarang pula Ali menemukan, mereka yang telah bersyahadat kembali ke agamanya semula, disebabkan tekanan itu. Namun, banyak juga yang tetap teguh dengan keislamannya.

Ketika Ramadhan, jam buka masjid Lautze ada penambahan. Itu dilakukan untuk keperluan melaksanakan shalat tarawih berjamaah. Setiap Ahad malam, para muallaf bimbingan Yayasan H. Karim melaksanakan shalat tarawih di masjid itu.

Pelaksanaan shalat tarawih di masjid Lautze berbeda dari masjid-masjid lain. Tarawih dilakukan dengan delapan rakaat. “Setiap dua rakaat, imamnya diganti. Tujuannya, untuk melatih para muallaf untuk menjadi imam,” pungkas Ali. 

0 komentar:

Posting Komentar