Pages

Selasa, 14 Oktober 2014

Sifat Zuhud Rasulullah SAW



Meskipun ditawari dunia dan seisinya, Rasulullah SAW lebih memilih hidup sederhana, karena cinta dunia menghalangi hamba menuju Allah SWT.

Hakikat zuhud adalah berpaling dari sesuatu atau meninggalkannya. Biasanya istilah zuhud dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat duniawi, seperti harta dan jabatan. Sifat zuhud hanya berlaku bagi orang yang memiliki kesempatan ataupun kemudahan dalam hal keduniawian kemudian tidak terpenjara dalam memikirkannya. Jadi orang yang tidak punya apa-apa tidak bisa dikategorikan sebagai orang zuhud.

Oleh karena itu, beberapa ulama berpendapat bahwa Umar bin Abdul Aziz adalah orang dengan tingkat zuhud yang lebih tinggi daripada Uweis AL-Qorni. Malik bin Dinar berkata, “Banyak orang yang mengatakan kalau saya adalah orang zuhud. Namun menurut saya sendiri, Umar bin Abdul Azizlah yang pantas menyandang predikat zahid.” Maksudnya, Umar bin Abdul Aziz memang benar-benar zuhud lantaran berada dalam kehidupan yang serba ada sebagai khalifah namun tidak terikat dan terbuai oleh harta maupun tahta.

Sikap zuhud yang melekat pada diri Umar bin Abdul Aziz, Uweis Al-Qorni, dan Malik bin Dinar merupakan perilaku mulia yang terinspirasi dari keteladanan Rasulullah SAW, panutan seluruh umat Islam. Rasulullah SAW adalah manusia yang paling zuhud, sebagaimana perintah Allah SWT kepada beliau, “Dan janganlah engkau tujukan pandangan matamu kepada kenikmatan yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan dari mereka, (sebagai) bunga kehidupan dunia, agar Kami uji mereka dengan (kesenangan) itu. Karunia Tuhanmu lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Tôhâ [20]: 131).

Dalam hati beliau tidak ada sedikit pun rasa cinta terhadap dunia. Meskipun Allah SWT melalui malaikat Jibril senantiasa menawarkan hal-hal keduniawian, seperti gunung yang akan dijadikan emas, namun Rasulullah SAW lebih memilih kehidupan apa adanya, dan malah sering dalam kondisi kesulitan. Ibnu Katsir dalam tafsirnya meriwayatkan dari Khutsaimah bahwa pernah dikatakan kepada Rasulullah SAW, “Jika engkau mau, aku akan memberimu kekayaan dunia seluruhnya. Tidak ada seorang pun sebelum dan sesudah engkau yang diberi. Dan hal itu tidak akan mengurangi kedudukan engkau di hadapan Allah SWT sedikit pun.”

Rasulullah SAW menjawab, “Karuniakanlah semua itu nanti di akhirat.” Kemudian Allah SWT menurunkan ayat, “Mahasuci (Allah) yang jika Dia menghendaki, niscaya Dia jadikan bagimu yang lebih baik daripada itu, (yaitu) surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan Dia jadikan (pula) istana-istana untukmu.” (QS. Al-Furqôn [25]: 10). Rasulullah SAW juga pernah disuruh memilih antara menjadi raja atau rasul. Beliau pun lebih memilih menjadi rasul, sebagai hamba pilihan Allah SWT.

Abu Dzar RA meriwayatkan, “Saya pernah berjalan bersama Rasulullah SAW di Madinah, lalu kami sampai di hadapan gunung Uhud. Beliau bersabda, ‘Wahai Abu Dzar, aku tak suka bila emas sebesar gunung Uhud ini menjadi milikku dan bermalam di rumahku hingga tiga malam. Kecuali satu dinar yang akan kugunakan untuk membayar hutang. Atau aku berikan semua emas itu kepada orang-orang sembari berkata begini, begini, dan begini’,(maksudnya berinfak dan sedekah), sembari menggenggamkan kedua tangannya ke kanan, kiri dan belakangnya.”

Kemudian Rasulullah meneruskan perjalanan dan bersabda, “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya orang-orang yang berbanyak-banyak (mengumpulkan harta) akan menjadi sedikit (melarat) pada hari kiamat nanti, kecuali orang yang berkata seperti ini, seperti ini, dan seperti ini begini,’ (maksudnya berinfak dan sedekah), sembari Rasulullah SAW menggenggam tangannya ke kanan, kiri dan belakangnya. Lalu bersabda, “Tetapi sedikit sekali orang yang suka melakukan hal demikian tadi.” (HR. Bukhari).

Di lain waktu, Umar bin Khattab RA pernah bertamu ke rumah Rasulullah SAW. Di saat itu kebetulan beliau sedang berbaring di atas lantai yang masih berupa pasir tanah. Setelah Rasulullah SAW bangun, Umar tiba-tiba menangis. Rasulullah SAW pun bertanya kepada Umar, “Mengapa engkau menangis, wahai Umar?”

“Bagaimana saya tidak menangis, ya Rasulullah. Saya sedih melihat bekas tanah di badan engkau yang mulia, dan saya prihatin melihat keadaan kamar ini. Semoga Allah SWT mengaruniakan kepada engkau harta yang lebih banyak. Orang-orang Persia dan Romawi tidak beragama dan tidak menyembah Allah, tetapi raja mereka hidup mewah. Mereka hidup dikelilingi taman yang di tengahnya mengalir sungai, sedangkan engkau adalah utusan Allah, tetapi engkau hidup dalam keadaan sangat miskin,” ujar Umar bin Khattab.

Mendengar jawaban Umar, Rasulullah SAW berkata, “Wahai Umar, sepertinya engkau masih ragu mengenai hal ini. Dengarlah, kenikmatan di alam akhirat lebih baik daripada kesenangan hidup dan kemewahan di dunia ini. Jika orang-orang itu hidup mewah di dunia ini, kita pun akan memperoleh segala kenikmatan tersebut di akhirat nanti. Di sana kita akan mendapatkan segala-galanya.”

Diriwayatkan oleh Aisyah RA, bahwasanya Rasulullah SAW tidak makan dengan kenyang selama tiga hari berturut-turut dari sepotong roti sampai beliau meninggal. Dalam riwayat lain, bahwasanya keluarga Rasulullah SAW tidak merasakan kenyang tiga hari berturut-turut dari sepotong rotipun sampai meninggal dunia. Aisyah RA juga berkata,“Rasulullah SAW tidak mewariskan satu dinar, satu dirham, seekor kambing, ataupun seekor unta.”

Riwayat-riwayat di atas menggambarkan kehidupan Rasulullah SAW yang sangat sederhana dalam hal keduniaan. Bahkan jika diukur dengan standar kemiskinan sekarang, mungkin beliau termasuk dari golongan orang-orang di bawah garis kemiskinan. Meskipun seperti itu, keadaan serba cukup atau sulit tidak menyurutkan sikap istikamah beliau dalam beribadah kepada Allah SWT dan berdakwah menyebarkan Islam.

Kondisi sederhana dan serba kecukupan yang dijalani Rasulullah SAW bukanlah disebabkan malas, bukan pula dikarenakan sikap anti-pati terhadap dunia atau faktor ekonomi masyarakat yang buruk waktu itu. Hal tersebut merupakan sikap seorang manusia mulia yang menjadikan dunia hanya sebagai penopang untuk menuju Allah SWT, bukan sebagai tujuan utama dalam menjalani hidup. Manusia yang sudah sampai pada tahap ini tidak akan terperdaya oleh gemerlap dan kemewahan kehidupan dunia, sehingga dunia hanya akan dimanfaatkan secukupnya saja.

Dalam keadaan serba ada, manusia yang sudah mencapai derajat zuhud memandang harta kekayaan sebagai sarana dalam meningkatkan ketakwaan dan ketaatan kepada Allah SWT. Rasulullah SAW memaknai takwa dalam keadaan melimpah harta dengan mendermakan sebagian besar hartanya kepada masyarakat, seperti pada riwayat pertama di atas. Namun, tentu saja dengan mengambil sebagian yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang dapat menopang tubuh dan keluarga dalam menjalani kehidupan dan ibadah.

Riwayat yang kedua dan ketiga membrikan gambaran bagaimana Rasulullah SAW dalam keadaan sangat sederhana. Dalam kondisi seperti ini beliau menjalani hidup dengan tulus ikhlas tanpa banyak mengadu dan mengeluh. Kondisi rumah yang sangat sederhana dan makanan yang ala kadarnya tidak menjadikan beliau berkeluh kesah dan menjauh dari ketaatan kepada Allah SWT. Tidak juga menjerumuskan ke jurang kekufuran.

Manusia zahid memandang dunia sebagai ladang ibadah untuk bekal di kehidupan akhirat. Oleh karena itu, dalam keadaan kaya maupun miskin, hati seorang zahid tidak menyimpan sedikitpun cinta terhadap dunia. Dalam pandangannya dunia adalah seperti yang difirmankan Allah SWT:

“Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sendagurauan, perhiasan  dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu.” (QS. Al-Hadîd [57] :20).

“Sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau. Jika kamu beriman serta bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu, dan Dia tidak akan meminta hartamu.” (QS. Muhammad [47]: 36).

Alhasil, Manusia yang hidup di dunia tentu tidak akan terlepas dari hal-hal keduniawian. Namun, zuhud bukan berarti menjauhi dunia secara total. Zuhud adalah kondisi hati dan jiwa yang tidak terikat dengan gemerlap dan kemewahan dunia. Tidak memandang dunia sebagai tujuan ataupun segala tumpuan hidup. Dunia hayalah kendaraan dalam menggapai keridhoan Allah SWT, sehingga dapat tercipta keseimbangan antara dunia dan akhirat, sebagaimana firman Allah SWT:

“Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di  bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash [28]: 77).

Wallahu a’lam bishawab

0 komentar:

Posting Komentar