Pages

Jumat, 10 Oktober 2014

Aurat Wanita Terhadap Saudara Angkat



Pertanyaan:

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Ustadzah yang dirahmati Allah, saya mempunyai seorang adik laki-laki yang diadopsi kedua orang tua saya. Dari kecil kami sudah bergaul bersama layaknya saudara kandung. Namun, setelah dewasa, apakah masih boleh saya melalaikan aurat di depan dia? dimana tidak ada lagi perasaan "aneh" diantara kami. Mohon penjelasannya.
Wassalam
Terima Kasih
Diah-Bekasi



Jawaban:

Wa’alaikum Salam Wr. Wb.
    Islam pada dasarnya melarang bentuk adopsi (al-tabanni) yang dikenal sejak zaman Jahiliyah, yaitu mengangkat anak orang lain sebagai anak sendiri, sehingga ia dinisbahkan kepada ayah angkatnya, diakui sebagai anak kandung, dan mendapatkan hak serta warisan seperti layaknya anak sendiri. Sebaliknya, yang dibolehkan dalam Islam adalah mengangkat anak asuh (ihtidhan / foster children) dari kerabat atau kalangan kurang mampu untuk dididik dan diasuh secara baik, tanpa menasabkan anak kepada orang tua asuhnya, dan tidak dianggap sama statusnya dengan anak kandung dalam segi perwarisan, perwalian (dalam pernikahan) serta hubungan mahram.
    Allah SWT berfirman dalam QS. al-Ahzab: 4-5, ”…dan Dia (Allah) tidak menjadikan anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataan di mulutmu saja. Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu (hamba sahaya yang sudah dimerdekakan dan dijadikan anak angkat)”. Ayat ini menunjukkan bahwa masalah nasab adalah hak Allah, bukan ditentukan oleh manusia. Sebagai konsekuensinya, penasaban anak angkat seharusnya dikembalikan kepada ayah kandung mereka. Sedangkan penggunaan istilah anak dalam adopsi hanyalah ucapan di mulut belaka, tidak berkonotasi anak yang sebenarnya seperti hubungan hukum antara ayah dengan anak kandung (bunuwwah). Sebab tidak mungkin seorang anak memiliki dua orang ayah.
    Islam membolehkan orang tua asuh beserta keluarganya untuk bergaul dan mencurahkan kasih sayang kepada anak asuh seperti layaknya anak kandung. Meskipun demikian, sejatinya status anak asuh tetaplah sebagai orang lain (ajnabi) yang bukan mahram. Ketika anak asuh masih berusia dini dan belum mengerti tentang batasan aurat wanita, atau belum memiliki syahwat terhadap lawan jenisnya, memang diperkenankan terlihat sebagian aurat wanita yang biasa tersingkap saat melakukan aktivitas sehari-hari, berdasarkan QS. al-Nur: 31, “…atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan”. Tapi kala anak asuh mencapai usia tamyiz, mengerti aurat dan mulai berhasrat kepada lawan jenis, apalagi sudah baligh, maka saat itu berlaku aturan hijab yang menutupi aurat wanita terhadap laki-laki non-mahram. Hal ini bukan saja dikarenakan anak asuh tidak termasuk dalam list mahram seperti disebutkan dalam QS. al-Nur: 31, tapi juga dimaksudkan sebagai saddan li al-dzari’ah (tindakan preventif).
Dalam hadits dari ‘Aisyah RA dikisahkan bahwa Salim maula Abu Hudzaifah RA diadopsi dan tinggal bersama Abu Hudzaifah berserta keluarganya. Salim bahkan telah dianggap dan diperlakukan seperti anak kandung sendiri. Ketika turun ayat tentang larangan adopsi, Sahlah binti Suhail (istri Abu Hudzaifah) datang menemui Rasulullah SAW dan berkata: “Sesungguhnya Salim telah mencapai usia laki-laki dewasa dan telah paham sebagaimana laki-laki dewasa, padahal dia sudah biasa (keluar) masuk rumah kami (tanpa kami memakai hijab), dan sungguh aku menduga dalam diri Abu Hudzaifah ada sesuatu (ketidaksukaan) terhadap hal tersebut.” Lalu Rasulullah Saw. bersabda kepadanya: “Susukanlah dia agar engkau menjadi mahramnya dan agar hilang ketidaksukaan yang ada dalam diri AbuHudzaifah”. (HR. Muslim). Hadits ini menunjukkan ketidakbolehan memperlihatkan aurat di hadapan anak angkat yang telah dewasa. Sampai-sampai Rasul menawarkan solusi kepada Sahlah untuk memberikan air susunya kepada Salim, sehingga ia bisa menjadi mahram sebagai ibu susu.
    Oleh karena itu, DR. Yusuf al-Qardhawi dalam fatwanya menyarankan kepada orang yang ingin mengadopsi anak yang tidak diketahui nasabnya dan masih dalam usia menyusui, agar merekayasa hubungan kekerabatan melalui penyusuan (radha’ah), sehingga terjadi hubungan mahram karena menyusui. Hal ini akan memudahkan berkumpul dan bergaul antara suami-istri, anak kandung dan anak angkatnya.
Untuk menghindari hal-hal yang dapat menimbulkan fitnah, seharusnya Anda tidak memperlihatkan aurat di hadapan adik laki-laki adopsi. Perlu disadari pula bahwa wanita yang melalaikan auratnya di hadapan anak asuh yang diadopsi sejak kecil boleh jadi tidak berpikiran yang aneh-aneh. Namun belum tentu hal yang sama dirasakan oleh anak asuh yang telah beranjak dewasa. Pangkal masalahnya bukan pada kebiasaan, tapi kesesuaian dengan panduan syariah. Mungkin hal itu dianggap wajar karena masyarakat sudah terbiasa dengan kebiasaan yang keliru, sehingga ketika sampai ajaran syariat yang benar justru terkesan aneh. Namun jika dibiasakan menjalani sesuai ketentuan syariat, niscaya akan memperoleh ketenangan, ketentraman dan kebahagiaan. Wallahu A’lam bi al-Shawab.

0 komentar:

Posting Komentar